Di barat sana, budaya diistilahkan sebagai culture. Selanjutnya istilah culture tersebut disebut kultur dalam bahasa kita.
Pertanyaan saya, apakah kita selanjutnya mendefinisikan budaya sama maknanya dengan kultur, lalu apakah istilah budaya sendiri merupakan istilah asli Indonesia atau serapan?
Salah-seorang dari mereka berkomentar : Ini pertanyaan mudah tetapi sulit. Lebih baik jangan ada yang sok tahu jika tidak argumentatif.
Selanjutnya saya berkata :
Kita memang harus jujur, bila tahapannya baru sampai pada kebingungan pada terminologi pengistilahan, maka jangan merasa telah sukses pada implementasi.
Kita memang harus jujur, bahwa ada sedemikian banyak istilah serapan yang ada dalam bahasa Indonesia. Tapi kita kurang memahami itu, dan merasa bahwa itu adalah istilah asli milik bahasa Indonesia, bukan serapan.
Di tataran praktek atau implementasi, kesalahan menggunakan kata-kata bisa menjadi masalah serius. Misalnya apa yang terjadi pada Hani, rekan Mirna.
Pada kesempatan pertama Hani berkata bahwa dia ikut meminum Kopi Vietnam, padahal maksudnya adalah mencicipi. Hal itu akhirnya dikoreksi setelah ada penyamaan persepsi tentang perbedaan makna leksikal antara meminum dengan mencicipi.
Saya juga berkali-kali mengalami hal yang serupa saat masih suka 'nguprek' peralatan elektronika. Saya berkata, "To, tolong ambilkan kondensator!"
Si Anto beranjak dan balik sambil menyerahkan elco. Saya mau protes tapi segera sadar, duh salah sebut nih. Begitu ucap saya dalam hati.
"Maaf To, maksudnya ceramic condensator. Warna hijau yang 0.1 micro Farad."
Dan urusanpun selesai, si Anto tidak lagi salah bawa.
Dari sini aku berpikir, alangkah tidak bijaknya apabila ada sebagian pendidik yang lebih konsen pada makna gramatikal, pemahaman konten, dan pemahaman kontekstual dengan menapikan makna leksikal.
Harusnya seimbang.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Makna Leksikal Sama Pentingnya dengan Makna Gramatikal, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.