Terkadang serpihan-serpihan ingatan itu hadir dalam benakku
meskipun telah berlalu puluhan tahun. Termasuk saat pak Abbas, guru agama,
melempar sebuah pertanyaan begini,
"Apa yang membuat seorang supir bis bisa berhati-hati
dalam menjalankan kendaraan penuh penumpang?"
Beragam jawaban hadir, teman-temanku nampak antusias,
sedangkan aku sendiri diam dan mengantuk. Ada yang menjawab karena tidak ingin
celaka, kasih sayang, cinta kasih, peduli sesama, dan beragam lainnya.
Pak Abbas hanya tersenyum, nampaknya beliau belum puas.
Akhirnya aku mencoba menjawab sekenanya, yang penting bunyi. Kataku,
"Karena tanggung jawab, pak!"
Di luar dugaan ternyata jawaban asbunku dibenarkan oleh
beliau. Dan keluarlah paparannya yang kurang lebih begini,
"Untuk bisa peduli pada sesama, bersikap hati-hati,
bersikap baik, tidak merugikan orang lain, dan sebagainya tidak perlu
bersusah-payah menghadirkan rasa cinta, kasih sayang, atau istilah-istilah
romantis lainnya bila memang tidak ada, tapi bertanggung jawablah. Dan sifat
bertanggung jawab akan hadir pada manusia yang tawakkal.
Bapak perlu menyampaikan ini karena siapa tahu kelak ada di
antara kalian yang memperoleh pekerjaan yang tidak dicintai atau tidak disukai.
Sudah banyak contohnya!"
Paparan beliau memang bisa didebat oleh siapapun, tetapi
disaat kita sudah tidak mampu mencintai produk dalam negeri karena kualitasnya
yang abal-abal misalnya, atau tidak mampu mencintai sinema-sinema Indonesia
karena asal jadi, maka sikap kepedulian hanya akan bisa ditumbuhkan oleh rasa
tanggung jawab.
Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Jadi
bagaimana mungkin rasa cinta atau rasa suka akan tumbuh bila yang diterima oleh
mata adalah hal-hal yang tidak berkualitas, tidak elok, asal jadi, dangkal,
abal-abal, dsb.
Dan faktanya memang demikian, selama uangnya cukup seseorang
akan memilih produk-produk yang berkualitas, dari manapun produk tersebut
berasal. Jadi dalam kontes ini berlaku hukum sebab akibat "karena
berkualitas bagus maka sesuatu dicintai" bukan sebaliknya "karena
dicintai maka yang berkualitas burukpun jadi terlihat baik".
Tahi ayam sih tetap saja tahi ayam, tidak hanya gara-gara
cinta lantas tahi ayam berubah jadi permen coklat.
Coba perhatikan ibu-ibu yang giat bersenam atau bersolek.
Mereka melakukan itu demi menjaga kualitas tubuhnya. Salah-satu tujuannya bisa
jadi agar tetap dicintai suami.
Jadi jauh disudut hatinya yang terdalam, banyak kaum ibu
yang juga mengakui bahwa untuk bisa dicintai harus tetap menjaga kualitas.
Sebisa mungkin meskipun penuaan hanya bisa dihambat tapi tidak bisa dihentikan.
Jadi konteksnya di sini adalah kualitas jasmaniah.
Soal kualitas fisik tentu saja bukan satu-satunya isu karena
kualitas yang dimaksud dalam tulisan ini tentulah ditinjau secara luas dari
aspek fisik, non fisik, dan kelayakan. Makanan yang higienis, dari bahan
terpilih, enak, dan menarikpun bisa disebut tidak berkualitas bila haram
misalnya. Atau tetap disebut berkualitas tapi tidak layak.
Akhirnya kembali ke soal tanggung jawab tadi. Karena rasa
bertanggung jawab maka lahirlah kepedulian. Jadi mari kita tetap peduli pada
produk-produk dalam negeri meskipun kita tidak mencintainya. Dan semua itu bisa
dilakukan bila ada dorongan tanggung jawab.
Bila motto "Cintailah produk-produk dalam negeri"
terasa tidak logis maka kita bisa menggantinya dengan "Pedulilah pada
produk-produk dalam negeri". Ini ajakan ya, bukan perintah. Karena saya
tidak berwenang memerintah anda.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Dari Perkara Tanggung Jawab Hingga Permen Cokelat, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.