Rasulullah melarang umatnya berlaku ashobiyah (sukuisme dan
rasialis). Di sisi lain beliau juga mengajarkan agar umatnya bersyukur, menjaga
titipan (di antaranya tanah-air), serta menegakkan keadilan.
Perbedaan antara ashobiyah dengan menjaga tanah-air ibarat
perbedaan antara riba dengan bagi hasil. Seperti serupa tapi tidak sama.
Ketika isu badai non pribumi menguat, yang dikhawatirkan
akan mengancam eksistensi pribumi, maka aku tentu saja akan memilih menjaga
tanah-air dibanding bersikap sukuistis-rasialis.
Antara yang berusaha menjaga tanah-air dengan yang
sukuistis-rasialis bisa saja melakukan hal yang sama, yakni : Waspada terhadap
non pribumi. Atau malah hingga mengusirnya!
Pada beberapa kasus, praktek bisa sama tapi itikad atau
niatnya yang berbeda.
Sukuistis dan rasialis selalu berkonotasi negatif sedangkan
bela tanah air selalu berkonotasi positif. Pada hal-hal yang sangat kritis,
praktek kaum sukuistis-rasialis akan sangat berbeda dengan praktek kaum pembela
tanah air.
Apa perbedaannya secara praktikal tersebut? Ya, nanti kita
bahas.
Ras merujuk pada ciri-ciri fisik yang khas dari sekelompok
manusia. Untuk saat ini kita bisa mengelompokkannya seperti ras kuning, ras
putih, ras coklat, dan ras merah.
Sejak dahulu manusia telah mengenal dan menjalankan praktek
eksodus. Dengan demikian ras tidak selamanya identik dengan bangsa terlebih
kewarganegaraan.
Hanya saja ada satu yang perlu digarisbawahi bahwa hingga
kinipun suatu bangsa umumnya didominasi oleh ras tertentu. Bangsa Indonesia
misalnya, didominasi oleh ras Melayu.
Bagi warga negara Indonesia non ras Melayu biasanya diberi
atribut khusus. Atribut tersebut sebenarnya cukup panjang seperti : Warga
Negara Indonesia Keturunan Cina, Warga Negara Indonesia Keturunan Arab, dsb.
Atribut panjang tersebut akhirnya disingkat menjadi WNI
keturunan Cina, WNI keturunan Arab, dsb. Lalu apa sebenarnya yang disebut
rasialis?
Rasialis adalah suatu tindakan merendahkan ras lain secara
pukul rata dan membabi-buta. Hal ini tentu diiringi dengan menganggap bahwa ras
dirinya sendiri adalah yang paling unggul. Dalam Islam hal seperti ini disebut
ashobiyah.
Sejarah pernah mencatat peristiwa rasialis yang sangat
dramatis. Bangsa Mesir dengan dikomandoi oleh Firáun melakukan penindasan tiada
tara pada bani Israil. Hal yang sama dilakukan oleh Jerman beberapa puluh abad
kemudian.
Di jaman sekarang tidak luput pula dari tindakan rasialis.
Terhadap penduduk Rohingya muslim misalnya. Kebetulan saja isyu agama ikut
mengemuka di sana. Bahkan dominan.
Bila rasialistis selalu berkonotasi negatif, maka tidak
demikian dengan usaha bela tanah air.
Bela tanah air itu tidak akan mengedepankan rasialistik
melainkan mengedepankan persamaan derajat di antara manusia. Bela tanah air
akan lebih mendalami esensi dibanding perbedaan warna kulit.
Ketika ada sinyalemen bahwa tanah air dijadikan sapi perahan
oleh bangsa lain, maka tindakan mengusir bangsa lain itu didasari oleh
penolakan terhadap perilaku buruk mereka, dan bukan oleh sipitnya mata atau
bulenya kulit.
Dunia sepakbola, terutama yang mancanegara, telah lama
mengajarkan bagaimana caranya agar manusia tidak rasialis sekaligus tetap mampu
menjaga martabat dan ketahanan bangsa.
Bagaimana mereka memilih pemain asing secara sangat selektif
dan membatasi kuotanya adalah patron yang tidak bisa ditawar. Kemudian sedikit
saja pemain asing tersebut berulah atau membuat cela maka dipecatlah bagiannya.
Tidak perlu takut dituding rasialis bila anda seorang
pembela tanah air! Anda lho, bukan saya. Karena saya jauh dari pantas untuk
disebut pembela tanah air.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Mari Menjadi Pembela Tanah Air Tanpa Bersikap Rasis!, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.