Saya : "Tuan tercatat sebagai pahlawan sekaligus
pemberontak. Mengapa saat itu memberontak?"
Rangga Lawe : "Andika harus paham, bahwa saat itu sang
prabu telah memilih mahapatih yang cocok untuk dirinya, tapi kurang baik bagi
negeri."
Saya : "Seyakin itukah tuan terhadap kondisi itu?"
Rangga Lawe : ""Aku tidak patut menilai diri
sendiri. Silahkan andika yang menyelaminya."
Saya : "Ketahuilah, tuan tidak sendirian dalam sejarah.
Bahkan Kartosuwiryopun mirip seperti tuan. Ia berada di antara dua posisi,
yakni pahlawan yang akhirnya memberontak."
Rangga Lawe : "Peperangan dalam rangka menumpas kami
hanya berlangsung 2 hari. Adapun penumpasan Kartosuwiryo sangat susah payah
selama 13 tahun."
Saya : "Tuan telah bertamu ke masa depan sekarang. Menu
apa yang sekiranya menarik selera anda di jaman ini?"
Rangga Lawe : "Ketahuilah bahwa pecel lele telah ada
sejak jamanku gembul bojana di Majapahit. Mungkin keberadaannya lebih tua
dibanding sang Wilwatikta. Ajak aku ke tukang pecel lele!"
Saya : "Hahaha, mari tuan. Dan sudilah kiranya suatu
saat saya meminjam keris Megalamat barang sebentar. Saya ingin sekedar
menyentuhnya."
Rangga Lawe : "Itu urusan mudah."
Gajah Mada : "Mengapa kisanak begitu yakin bahwa kisah
itu benar pernah terjadi?"
Saya : "Saya yakin bahwa Tuhan itu ada berasal dari
ketetapan hati, bukan karena pernah melihatNYA. Tentu tuan sangat arif untuk
menyelami jawaban saya ini. "
Gajah Mada : "Sebagian menapikan adanya kisah itu dan
hanya menganggap sebagai salah-satu cara adu-domba penjajah."
Saya : "Jika demikian sudilah tuan menjawab beberapa
pertanyaan saya. Pertama, jika benar peristiwa Bubat itu tidak pernah terjadi
mengapa akhirnya prabu Hayam Wuruk menikah dengan Sri Sudewi. Kedua, dengan
siapa akhirnya Dyah Pitaloka menikah jika benar beliau tidak gugur di
Bubat?"
Gajah Mada : "Prabu Hayam Wuruk menikah dengan Sri
Sudewi karena beliau tidak pernah melamar Dyah Pitaloka. Maka peristiwa
Bubatpun tidak pernah ada. "
Saya : "Lalu apakah tuanpun akan mengatakan bahwa Dyah
Pitaloka juga sesungguhnya tidak pernah ada?"
Gajah Mada : "Jika peristiwa itu benar terjadi, apakah
kisanak akan memendam dendam?"
Saya : "Tidak ada alasan sedikitpun bagi saya untuk
mendendam, bahkan dalam kondisi saya sebagai pengagum sri Linggabhuana sekalipun."
Gajah Mada : "Saya tertekan oleh sejarah, baik sebagai
pahlawan maupun pengkhianat. Setidak-tidaknya catatan bahwa saya pernah
berkhianat terhadap Galuh."
Saya : "Setidak-tidaknya hal itulah yang membuat nama
tuan tidak mudah terkubur oleh sejarah lain yang bertumpuk-tumpuk."
Gajah Mada : "Saya tidak tahan untuk terus berbincang
seperti ini. Saya akan terus tertekan meskipun kisanak tidak bermaksud menekan.
Saya permisi dan silahkan kisanak meneruskan pertanyaan-pertanyaan tersebut
kepada sang waktu."
Perlahan-lahan imajinasi tentang pria yang gagah dan tampan
itu sirna dari benakku, digantikan oleh rasa di perut yang semakin keroncongan. Gajah Mada itu tampan, seperti ayahnya, yakni Raden Wijaya.
"Silahkan, pak!", kata tukang pecel lele dengan
logat Madura yang masih agak kental.
Saya tersadar dari lamunan. Tidak ada Rangga Lawe di sini.
Yang ada adalah gambaran khayaliku tentang masa lalu yang tidak pernah kualami.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Lamunan Liarku Pada Suatu Malam di Kedai Pecel Lele, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.