Sebagai pendekar yang berjabatan panglima perang, Mahisa
Anabrang bisa mengukur persis bagaimana kekuatan pasukan Tuban yang saat itu
berjumlah sekitar 3000 orang. Sementara jumlah pasukan Majapahit hanya 500
orang. Dengan tingkat keterampilan masing-masing prajurit dari kedua belah pihak
yang setara, maka faktor jumlah tentu sangat menentukan.
Dalam peperangan kemarin sekitar 100 orang prajurit
Majapahit tewas, sedangkan dari pihak Tuban nampaknya juga tidak jauh dari
jumlah itu. Data-data kasar tersebut didapat oleh Mahisa Anabrang dari para
senapati pengapitnya yaitu Gagak Sarkara dan Mayang Sekar. Terutama yang
berkaitan dengan jumlah tewas dari pasukan Tuban. Adapun jumlah tewas dari
pasukan Majapahit ia ikut menghitungnya secara akurat.
Dengan kekuatan yang berimbang, andai peperangan terus
dilanjutkan, maka sama saja dengan bertindak konyol. Pasukannya akan habis
terbunuh, sementara setidak-tidaknya 1000 orang prajurit Tuban akan tetap
hidup. Dan ini berarti kekalahan.
Tidak, Anabrang tidak ingin kalah. Maka dengan sigap saat itu
ia memerintahkan pasukannya untuk mundur sambil menyebar. Dan itu dilakukannya
bukan dengan teriakan tetapi dengan kode tertentu yang telah diperintahkan
kepada seluruh prajurit melalui para perwiranya. Adapun kode itu adalah
manakala ia berganti menaiki kuda berwarna hitam maka pasukan harus mundur
mengikuti perwiranya masing-masing.
Sebagaimana lazimnya seorang senapati utama, Anabrang
memiliki banyak kuda perang. Dan pada peperangan kali ini ia membawa dua ekor
kuda yang salah-satunya berwarna hitam. Ketika telik sandinya menyampaikan
bahwa pasukan Tuban ternyata berjumlah sekitar 3000 orang, maka segera ia
melakukan pengarahan singkat. Kepada Mayang Sekar dan Gagak Sarkara ia berkata
:
"Para prajurit Tuban itu tingkat keterampilannya setara
dengan prajurit kotaraja, dan kalian pasti sudah sangat paham tentang itu.
Ketika kita kalah jumlah, maka kekalahan perang pulalah yang akan jadi upahnya.
Besok kita akan tetap melawan jika mereka menyerbu, tetapi jika mereka memilih
untuk menunggu maka kitapun akan bertindak sama.
Kalian tahu bahwa kedatangan pasukan kita ke sini hanyalah
untuk membuka jalan sebelum pasukan Mahapatih Nambi datang, bukan untuk
langsung bertempur. Mahapatih Nambi akan bertindak sebagai senopati utama, itu
rencananya.
Tetapi sangat mungkin kita akan diserbu oleh pasukan Tuban
terlebih dahulu. Oleh karena itu camkan baik-baik. Bila besok mereka menyerbu
dan kita terdesak maka lihatlah ke arahku, carilah aku dengan pandangan mata
kalian. Bila aku berganti kuda hitam, maka mundurlah sambil berpencar ke arah
bukit Surataro. Sampaikan segera pesan ini kepada seluruh prajurit!"
Mayang Sekar dan Gagak Sarkara dengan cukat trengginas
segera melaksanakan perintah itu. Dengan menggunakan cara pesan berantai maka
perintah itu segera sampai kepada seluruh prajurit tanpa kecuali.
Untung tidak dapat diraih malang tidak dapat ditolak. Tidak
lama setelah itu pasukan Tuban menyerbu hingga dapat mendesak pasukan Majapahit
yang kalah dari sisi jumlah itu. Maka rencanapun dijalankan. Di saat pasukannya
telah mengalami banyak jatuh koran, Anabrang segera berganti menunggangi si
Aswakresna.
*****
Malam itu Ranggalawe tidak dapat tidur nyenyak. Niatnya
untuk meluluh-lantakkan pasukan Majapahit tidak sepenuhnya tercapai. Ia malah
kehilangan dua orang pendekar andalannya
yaitu Ra Tati dan Ra Gelatik. Keduanya terbunuh di tangan Mahisa Anabrang.
Ranggalawe telah mengingatkan pada para pendekarnya agar
lebih memusatkan perhatian pada para prajurit biasa, dan menghindar dari Mahisa
Anabrang. Perhitungan Ranggalawe sederhana, bila para prajurit biasa telah
habis terbunuh, maka menghabisi Mahisa Anabrang adalah perkara mudah. Seperkasa
apapun Anabrang, jika dikeroyok oleh banyak prajurit, maka akan habislah ia.
Rupanya tidak semua pendekar bisa menahan diri untuk tidak
menjajal kesaktian Anabrang. Ra Tati dan Ra Gelatik gatal tangan. Dengan penuh
percaya diri mereka menghadapi Mahisa Anabrang. Dan akibatnya fatal, hanya
dengan jotosan-jotosan tangan kosong keduanya mengalami remuk kepala.
Anabrang bukanlah pendekar sembarangan, ia memiliki banyak
kesaktian dalam hal olah kanuragan. Kulitnya tidak dapat ditembus bahkan oleh
senjata pusaka yang berkaliber standar. Apalagi jika hanya oleh senjata yang
tidak layak disebut pusaka. Maka di sinilah letak keapesan Ra Tati dan Ra
Gelatik. Hanya dengan bermodalkan pedang yang mampu membelah batu mereka telah
berani menantang Anabrang yang tubuhnya sekeras tameng waja.
Bertubi-tubi pedang Ra Tati dan Ra Gelatik mencecar tubuh
Anabrang, dan Anabrang hanya diam mematung seperti arca. Tidak sedikitpun
tubuhnya terlukai oleh sabetan-sabetan dan tusukan-tusukan pedang dari dua
pendekar Tuban yang cukup ternama itu.
Di saat Ra Tati dan Ra Gelatik berhenti sejenak untuk
mengambil nafas, Anabrang tiba-tiba bergerak secepat anak panah. Pukulannya
telak menghantam kepala dua pendekar naas itu yang langsung tewas tanpa sempat
mengaduh. Itulah kekuatan aji Ragawaja yang menjadi salah-satu andalan sang
senapati yang sempat menorehkan namanya dengan tinta emas ketika mampu
menaklukkan Swarnabumi.
Ranggalawe melihat kejadian itu hingga tubuhnya bergetar
menahan marah. Namun belum sempat ia bergerak untuk menantang Anabrang
tiba-tiba saja seekor kuda hitam berlari kencang. Anabrang sang pendekar dari
desa Tebu itu melentingkan tubuhnya ke udara dan hinggap berdiri dengan manis
di punggung si kuda hitam.
Berdiri di atas punggung kuda yang sedang berlari kencang
hanya dapat dilakukan oleh seorang pendekar pilih tanding yang memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi. Dan kali ini Mahisa Anabrang yang
mempertontonkannya. Tidak lama setelah itu, pasukan Majapahit berpencar
meninggalkan palagan. Tinggallah Ranggalawe bersama pasukannya yang masih
tersisa banyak.
Ranggalawe geleng-geleng kepala, kembali untuk kesekian
kalinya ia mengagumi Anabrang. Dalam jagat kependekaran, Mahisa Anabrang memang
setara dengan Lembu Sora, Nambi, dan dirinya sendiri. Mungkin hanya Raden
Wijaya saja yang bisa mengalahkannya jika terjadi pertarungan satu lawan satu.
Ya, siapa yang tidak kenal pada Raden Wijaya. Seorang muda usia yang bukan
hanya terampil dalam ilmu politik tapi juga memiliki kesaktian pilih tanding
yang setara dengan Ken Arok dan Ranggawuni.
Dalam hati Ranggalawe berkata :
"Kakang Anabrang,
sesungguhnya aku sangat menghormatimu seperti engkau pula sangat menghargaiku.
Tapi esok akan kukejar dirimu. Mari kita buktikan kulit siapa yang lebih keras.
Tapi aku akan mengejar Nambi terlebih dahulu!"
Rangga Lawe menghela nafas panjang, tiba-tiba saja kecamuk
pikirannya telah membawa pada suatu ingatan. Ia teringat pada tugas yang harus
diselesaikannya yaitu memimpin pembangunan sebuah candi. Namun tugas itu kini
harus ditinggalkannya. Kelak candi tersebut akan disebut candi Tikus beberapa
abad setelah Majapahit runtuh.
Selanjutnya : Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Kedua
Sebelumnya : Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Tokoh Sentral
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Pertama, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.