Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Ketiga - Tidak terelakkan sudah, kedua pasukan itu akhirnya harus bertemu
di palagan. Bukan dengan bangsa lain tetapi justru dengan kerabat sendiri. Dari
kedua belah pihak banyak yang tidak sepenuh hati ketika saling berhadapan
seperti sekarang ini.
Di antara para prajurit yang sudah saling mengenal dan
berhubungan baik tentu akan saling menghindar. Gelagat seperti ini sebenarnya
telah ada sejak pertempuran di hari kemarin. Banyaknya prajurit yang terbunuh
lebih karena amuk asor para pimpinan pasukan, bukan karena saling bunuh di
antara para prajurit rendahan.
Jarak kedua pasukan sekarang tinggal seratus batang tombak
saja. Ra Lintang segera meniup terompet jawaban tantangan perang yang tadi
dibunyikan oleh Gagak Sarkara. Maka tidak lama kemudian terdengar bunyi
terompet bersahut-sahutan. Itulah tanda bahwa kedua pasukan telah siaga penuh.
Reda sudah bunyi terompet yang bersahut-sahutan itu dan
Rangga Lawe mengangkat tangan kiri. Itu adalah tanda bahwa pasukannya tetap diam
di tempat. Nambi, Lembu Sora, Mahisa Anabrang, dan para perwira muda saling
beradu tatap sejenak satu sama lain. Mereka belum paham tentang apa yang
dikehendaki oleh Rangga Lawe. Dan jawaban itu tidak lama mereka tunggu. Sang
Arya Adikara itu segera turun dari kudanya dan berteriak lantang :
"Tunggu, aku
ingin bicara sebentar dengan kalian wahai orang-orang Majapahit!"
Hanya dengan beberapa lompatan ringan saja Rangga Lawe telah
berdiri di hadapan Nambi. Sora dan Anabrang segera mendekat.
"Nambi, aku menantangmu untuk perang tanding dan
biarlah pasukan kita menonton. Mereka tidak perlu bertempur. Bila aku kalah
maka bunuhlah aku, dan peperangan ini tidak perlu dilanjutkan. Tapi bila kau
yang kalah, maka aku akan membunuhmu. Dan terserah kalian apakah peperangan ini
akan dilanjutkan atau tidak. Bagaimana?" Tantang Lawe.
"Laweee Lawe, tidak kepalang tanggung
rupanya kau. Kematianmu mungkin sudah amat dekat, jadi silahkan keluarkan semua
kesombongan yang kau punya. Ayo naiklah segera ke punggung kuda kesayanganmu
itu. Aku yang akan menghajarmu!" Malah Mahisa Anabrang yang berteriak
menjawab.
Nambi segera berkata :
"Tenangkan dirimu kakang Anabrang. Lawe sampai
senekat ini memang karena ingin bertempur denganku. Andai saat itu gusti prabu
dan paman Sora tidak menghalangi, tentu sudah kujawab tantangannya untu
berperang tanding. Ayo Lawe, bersiap-siaplah!"
Nambi segera melompat turun dari punggung Brahma Cikur, kuda
kebanggaannya. Tanpa berkata-kata lagi ia segera menjauh dari pasukannya. Lawe mengikuti dan tidak lama kemudian keduanya telah berhadap-hadapan
untuk berperang tanding.
"Terimalah seranganku Nambi, hiaaaaaa......!"
Cepat dan trengginas bagai burung srikatan Ranggalawe
melayang menerjang Nambi. Yang dijadikan sasaran adalah ulu hati. Rupanya Lawe memilih untuk tidak menggunakan jurus-jurus pembuka. Ia ingin segera
menghabisi Nambi. Maka tak ayal serangannya itu menimbulkan perbawa yang tidak
nyaman bahkan bagi yang berdiri jauh dari tempat mereka bertempur.
Nambi seperti telah menduga apa yang akan dilakukan oleh Lawe. Ia segera membentengi dirinya dengan lapisan tenaga dalam dan
dihadangnya pukulan Lawe menggunakan tangkisan. Baaammm, dua tangan
beradu. Nambi terdorong ke belakang sementara Lawe terjajar ke samping.
Tapi tidak ada yang dirasakan sedikitpun oleh keduanya.
Mendapati serangannya yang pertama gagal, Lawe segera
memutar tubuhnya sambil melayangkan tendangan yang keras dan cepat. Sasarannya
adalah kepala Nambi. Yang diserang segera merundukkan kepalanya sedikit sambil
secara reflek balas menyerang.
Pukulan Nambi telak mengenai dada kiri
Ranggalawe. Namun anehnya kepalan tangan Nambi malah seperti melekat menempel erat pada bidang yang dipukulnya. Sementara itu kaki Lawe sebatas betis
jatuh menempel di pundak kiri Nambi.
Lembu Sora terkesiap, Anabrang terhenyak, karena mereka tahu
apa yang akan dilakukan oleh Lawe selanjutnya. Nambipun tahu, tapi ia
tenang-tenang saja dan malah tersenyum.
Tangan kanan Lawe bergerak cepat seperti gerakan
membabatkan pedang ke arah kanan. Yang disasar adalah leher Nambi, sementara
itu kaki kanannya yang bertumpu pada pundak Nambi ikut bergerak berlawanan arah
dengan gerakan tangan kanan tadi.
Gerakan Ranggalawe seperti ini sudah banyak meminta korban.
Semuanya mati karena mengalami patah leher yang parah. Dan nampaknya Nambi akan
mengalami hal yang sama jika saja ia hanya seorang pendekar rendahan.
Sambil
tetap tersenyum ia mengerahkan ajian Bayunetra. Tubuhnya seperti bersifat
angin. Tangan kanannya yang tersedot oleh tenaga dalam Lawe bisa lepas.
Sementara itu Ranggalawe seperti memukul betisnya sendiri manakala pukulannya
sampai di leher Nambi.
Sungguh beruntung Ranggalawe, karena ajian Bayunetra milik
Nambi hanyalah ampuh untuk menangkal serangan dan tidak bisa digunakan untuk
melakukan serangan balik. Tubuh Nambi melenting ke udara dan mendarat dengan
manis beberapa tombak dari Lawe yang sempoyongan karena terbawa oleh
dorongan tenaganya sendiri.
Baru saja Ranggalawe mampu berdiri tegak, tiba-tiba saja
Nambi melesat menyerangnya. Bertubi-tubi pukulan Nambi mengenai kepala, dada,
dan perutnya. Kemudian serangan itu ditutup oleh tamparan ke pipi kiri dan
kanan sang Adikara. Setelah itu Nambi melentingkan tubuhnya kembali ke tempat
semula. Tinggallah Ranggalawe yang merah padam wajahnya.
Bagaimana tidak merah padam karena apa yang dilakukan oleh
Nambi itu benar-benar seperti mengolok-olok. Pukulan-pukulan Nambi, termasuk
tamparannya, adalah bersifat tangan kosong dalam arti sebenarnya. Kosong,
bahkan tidak sedikitpun dilambari tenaga dalam. Nambi seperti memamerkan
kecepatan gerakannya. Dan seakan menyampaikan pesan bahwa jika mau maka amatlah
mudah baginya untuk melukai Ranggalawe.
Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah dua tamparan yang
mendarat mulus di pipi Ranggalawe. Tamparan hampir selalu memiliki makna tidak
baik. Dan itu kerap diberikan pada orang-orang yang justru belum dianggap
dewasa. Siapapun manusianya, terlebih seperti Ranggalawe yang telah kenyang
melibatkan diri dalam sebuah perjuangan berat, tentu tidak akan menerima
diperlakukan seperti itu.
Para prajurit Majapahit bersorak-sorai riuh-rendah. Mereka
mengelu-elukan Nambi dan merasa sangat terhibur. Sebagai prajurit yang mengenal
ilmu kanuragan, meskipun tidak setinggi para pimpinan prajurit, mereka tahu
persis bahwa Nambi sedang mengolok-olok Lawe.
Selanjutnya : Banjir darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Keempat
Sebelumnya : Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Kedua
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Ketiga, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.