Sejenak kita tinggalkan Lawe dan Nambi yang sedang bertarung.
Mari kita memperhatikan beberapa orang tokoh yang saat ini sedang menonton
pertarungan tersebut. Kita mulai dengan Halayudha
Nampaknya terdapat beberapa periodisasi penyebutan terhadap Halayudha ini. Periode pertama adalah
ketika ia amukti wibawa di bawah pemerintahan Kartanagara, raja Singhasari.
Pada periode ini ia disebut dengan nama aslinya yaitu Halayudha.
Periode kedua adalah ketika ia berhasil menjadi mahapatih di
jaman prabu Jayanagara. Pada periode ini ia disebut sebagai Mahapati.
Pararaton mengisahkan Halayudha menjadi patih setelah
kematian Nambi tahun 1316. Sejarawan Slamet Muljana menganggap Mahapati identik
dengan Dyah Halayudha, yaitu nama patih Majapahit yang tertulis dalam prasasti
Sidateka tahun 1323.
Apabila dugaan Slamet Muljana benar, maka tokoh Mahapati
alias Halayudha bukan orang biasa, namun masih keluarga bangsawan. Hal ini
dikarenakan gelar yang ia pakai adalah dyah yang setara dengan raden pada zaman
berikutnya. Misalnya, pendiri Majapahit dalam Nagarakretagama disebut Dyah
Wijaya sedangkan dalam Pararaton disebut Raden Wijaya. Sementara itu Nambi dan
Sora yang dalam prasasti Sukamreta hanya bergelar mpu.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa Halayudha sakit hati
ketika Nambi dan Sora yang bukan dari golongan bangsawan namun memperoleh
kedudukan tinggi, masing-masing sebagai patih Majapahit dan patih Daha. Ia pun
melancarkan aksi fitnah dan adu domba sehingga satu per satu para pahlawan
pendiri kerajaan tersingkir.
Setelah pemberontakan Ra Kuti, hubungan antara Jayanagara
dengan Mahapati mulai renggang. Akhirnya, semua kejahatan yang pernah dilakukan
Mahapati pun terbongkar. Ia kemudian dihukum mati dengan cara cineleng-celeng,
artinya "dicincang seperti babi hutan".
Ada yang menyebutkan bahwa Halayudha ini memiliki nama atau sebutan lain yaitu Ramapati. Tapi hal ini bertentangan dengan catatan prasasti bahwa tokoh Ramapati di jaman prabu Kartanagara adalah seorang yang berbudi luhur, tidak culas.
Sumber lain menyebutnya Ra Mapati ( sebutan Ra dimuka nama, sepertinya merupakan sebutan Bali karena ada pula disebut Ra Kuti, Ra Semi, Ra Banyak, Ra Tanca, dll). Karena setting kejadiannya sama maka disimpulkan bahwa Halayuda adalah Ra Mapati.
Di jaman Singhasari ada beberapa tokoh terkemuka, di antaranya adalah Raganata dan Kebo Anengah atau Kebo Tengah.
Ada yang menyebutkan bahwa Halayudha ini memiliki nama atau sebutan lain yaitu Ramapati. Tapi hal ini bertentangan dengan catatan prasasti bahwa tokoh Ramapati di jaman prabu Kartanagara adalah seorang yang berbudi luhur, tidak culas.
Sumber lain menyebutnya Ra Mapati ( sebutan Ra dimuka nama, sepertinya merupakan sebutan Bali karena ada pula disebut Ra Kuti, Ra Semi, Ra Banyak, Ra Tanca, dll). Karena setting kejadiannya sama maka disimpulkan bahwa Halayuda adalah Ra Mapati.
Di jaman Singhasari ada beberapa tokoh terkemuka, di antaranya adalah Raganata dan Kebo Anengah atau Kebo Tengah.
Nama Raganata dan Kebo Anengah adalah ciptaan pengarang
Pararaton karena tidak dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan
Tumapel atau Singhasari.
Disebutkan, Raganata digantikan Kebo Anengah pada awal
pemerintahan Kertanagara, yang naik takhta tahun 1268. Pada prasasti Penampihan
(1269) ditemukan nama-nama para pejabat Singhasari, antara lain Patih Kebo
Arema dan Sang Ramapati. Disebutkan bahwa, Ramapati adalah tokoh senior yang
bijaksana, yang merupakan pemuka para petinggi kerajaan.
Nama lengkap Ramapati terdapat dalam prasasti Mula Malurung
(1255), yaitu Sang Ramapati Mapanji Singharsa, sebagai tokoh yang menyampaikan
perintah Wisnuwardhana kepada bawahan, dan sebaliknya, menyampaikan permohonan
bawahan kepada raja.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, nama sebenarnya
dari Kebo Anengah adalah Kebo Arema, sedangkan Raganata adalah Mapanji
Singharsa, bergelar Sang Ramapati.
Kembali kepada medan pertempuran antara Nambi dan Lawe. Halayudha bergumam dalam
hatinya :
"Hmmm, Nambi. Semoga kau yang terbunuh dalam peperangan ini.
Pertempuranmu dengan Rangga Lawe semoga menjadi akhir hidupmu. Dan setelah itu
di Majapahit tidak ada lagi manusia bernama Nambi, anak Pranaraja!"
Hati Halayudha memang senantiasa dipenuhi oleh
belatung-belatung iri hati pada orang lain. Dan itu biasa ia nyatakan dalam
bentuk kasak-kusuk serta adu-domba tingkat tinggi.
Kini ia berharap Nambi yang gugur dalam peperangan ini
karena akan mempermulus ambisinya. Bila Lawe yang gugur, maka justru namanya
akan tenggelam dan Nambi yang berkibar. Sebaliknya bila Nambi yang gugur maka
satu lagi pesaing akan hilang. Satu lagi, ya satu lagi, karena satu pesaing
lainnya, yaitu Rangga Lawe, jelas telah tersingkir sejak kemarin.
Sejak terompet perang kemarin berbunyi, nama Rangga Lawe
memang telah tersingkir dari Majapahit, terlepas dari apakah ia pada hari ini
terbunuh atau tidak.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Keempat, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.