Rasa tidak suka itu yang akhirnya membesar menjadi pemberontakan. Bahkan tanpa adanya hasutan dari Dyah Halayuda sekalipun, dirinya memang telah bertekad kuat untuk menyelamatkan negeri Majapahit, yang dinilainya akan lemah bila dipimpin oleh salah-seorang seperti Nambi.
Dalam penilaian Rangga Lawe, Nambi bukanlah sosok yang cocok untuk jabatan mahapatih. Ia merasa bahwa Lembu Sora atau dirinya jauh lebih pantas. Nambi dinilainya sebagai sosok yang hanya pintar bicara dan pandai mencari muka. Bahkan dalam berbagai peperangan, ia merasa lebih cakap dan perkasa dibanding Nambi.
Rangga Lawe tersenyum dalam hati ketika merenungkan alasan yang kedua mengapa ia lebih suka berhadapan dengan Nambi. Ya, mengalahkan Nambi itu tentu lebih mudah dibanding mengalahkan Mahisa Anabrang. Meskipun Nambi sendiri bukanlah pendekar kelas teri, tetapi Rangga Lawe sangat yakin akan mampu mengalahkannya.
Kemampuan olah kanuragan Nambi, dalam pandangan Ranggalawe, tidak lebih tinggi dibanding yang dimiliki Pawagal, Juru Demung, Gajah Biru, dan Dyah Halayuda.
Kini pikirannya tertuju pada sosok Mahisa Anabrang. Tidak, Rangga Lawe tidak merasa takut jika harus berhadapan satu lawan satu dengan Anabrang. Ia sendiri sebenarnya tidak yakin akan mampu mengalahkan pendekar tinggi besar itu tetapi Anabrangpun belum tentu mampu mengalahkan dirinya.
Rangga Lawe sadar bahwa dirinya bukanlah pendekar maha sempurna yang tidak bisa terluka. Meskipun telah sembuh, tetapi rasa sakit yang luar biasa ketika bertarung antara hidup dan mati melawan Mantri Segara Winotan seakan-akan belum hilang benar dari alam bawah sadarnya.
*****
Kokok ayam terdengar dari kejauhan ketika 3000 orang prajurit Majapahit tiba di kaki bukit Surataro. Ya, mereka langsung menuju ke sana berdasarkan laporan dari utusan Mahisa Anabrang yang mencegat di tengah jalan. Kepada Nambi, Sora, dan Halayuda utusan itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi selama peperangan hari kemarin. Termasuk perkiraan jumlah prajurit yang tewas.
Singkat cerita bergabunglah pasukan Mahisa Anabrang ke pasukan Nambi. Strategi peperangan segera disusun. Nambi segera memberikan pengarahan-pengarahan seperlunya. Kepandaiannya dalam berkata-kata sesungguhnya menjadi pembeda antara ia dengan Halayuda.
Bila Halayuda cenderung kepada banyak bicara maka Nambi adalah sosok yang pandai bicara. Ia tahu persis kapan harus berbicara panjang lebar dan kapan cukup dengan ucapan singkat saja.
Ada satu hal yang dipesankan kepada para pimpinan prajuritnya. Pesan itu singkat dan jelas bahwa jangan ada seorangpun pimpinan prajurit yang menghadapi Rangga Lawe sebelum dirinya. Iapun mengingatkan bahwa sedapat mungkin Ranggalawe ditangkap hidup-hidup, jangan dibunuh. Sesuai dengan pesan Prabu Wijaya, membunuh Ranggalawe adalah jalan terakhir apabila menangkapnya hidup-hidup gagal dilakukan.
Hanya ada satu orang yang benar-benar menginginkan kematian Rangga Lawe. Di balik sikapnya yang supel, ramah, dan menyenangkan, diam-diam Dyah Halayuda menanam belatung kedengkian di dalam hatinya. Ia ingin semua orang yang berpengaruh di sekitar Raden Wijaya tersingkir.
Setelah memberikan pengarahan seperlunya, Nambi melayangkan pandangannya ke sekitar tempat itu yang masih temaram sekedar mengandalkan cahaya bulan.
Jejak-jejak pertempuran tidak terlampau nampak. Bahkan tidak ada satupun mayat yang tertinggal. Diam-diam ia kagum pada para prajurit Tuban. Tentulah mereka yang telah merapikan kembali palagan itu mengingat para prajurit Majapahit semalaman lebih memilih berlindung di balik bukit Surataro.
*****
Matahari belum terbit ketika di daerah sekitar pinggiran sungai Tambak Beras hiruk pikuk oleh pasukan Tuban. Mereka nampak sangat siap untuk menyongsong peperangan pada hari ini. Gagarangan, Tambakbaya, Ra Lintang, Ra Tosan, dan para pimpinan prajurit lainnya sibuk memberikan atau meneruskan pengarahan-pengarahan yang baru saja diinstruksikan oleh Rangga Lawe.
Sang adipati Tuban yang berperawakan sedang namun tegap perkasa itu nampak amat gagah dalam balutan baju perang. Duduk dengan tegap di punggung kuda kesayangannya yang bernama Nila Ambara. Kuda itu ia peroleh sebagai hadiah dari Raden Wijaya. Kisahnya adalah ketika dulu secara diam-diam ia diutus oleh ayahnya ke Sumbawa saat pembukaan hutan Tarik.
Sekembalinya dari Sumbawa ia mempersembahkan puluhan ekor kuda kepada Raden Wijaya sebagai kejutan. Betapa gembiranya Raden Wijaya. Ia memilihkan seekor kuda jantan yang paling gagah, kemudian kuda itu diberikan kepada Rangga Lawe.
Sebelum pergi ke Sumbawa, semua orang memanggilnya sebagai Arya Adikara. Adapun sebutan Ranggalawe adalah hadiah dari Raden Wijaya pula. Rangga Lawe maknanya kurang lebih adalah seseorang yang sangat terpercaya.
Usia Rangga Lawe sebaya dengan Raden Wijaya dan Nambi. Di atas mereka yang pantas disebut kakak berdasarkan usia adalah Anabrang, Juru Demung, Gajah Biru, Gajah Pagon, dan Pawagal. Adapun Halayuda, Arya Wiraraja, Pranaraja, dan Lembu Sora sudah termasuk angkatan senior. Mereka sudah malang-melintang sebelumnya di jaman pemerintahan Prabu Kertanegara, raja Singhasari yang terakhir.
*****
Rangga Lawe telah mendengar kabar tentang kedatangan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Nambi. Sebagai orang dalam, Rangga Lawe sudah bisa memperkirakan strategi apa yang akan digunakan oleh Majapahit dalam pertempuran kali ini. Benaknya segera menangkap sosok Nambi. Hatinya membatin :
"Nambi mungkin mudah kubinasakan bila bertarung satu lawan satu dalam perkelahian biasa, tetapi bila sudah dalam peperangan yang melibatkan sedemikian banyak prajurit, apa mungkin mudah bagiku? Hmmm, mengapa hatiku jadi gelisah seperti ini?
Baiklah, hari ini akan kujadikan hari penentuan bagi Nambi. Aku tidak mengkhalayalkan untuk unggul dalam peperangan ini. Biarlah aku mati berkalang tanah asalkan bersama-sama dengan Nambi!"
"Kakang Lawe, dengarlah. Mereka telah meniup terompet tantangan perang. Apakah kita akan bergerak sekarang?" Tanya Ra Lintang dari jarak yang agak jauh.
"Majulah kira-kira dua ratus batang tombak dari pinggiran sungai ini. Dari sana silahkan kau jawab bunyi terompet itu, Ra Lintang!" Jawab Rangga Lawe sambil berteriak sehingga seluruh prajurit yang ada bisa mendengar jelas. Beberapa orang prajurit tak urung merinding mendengar teriakan Ranggalawe. Mereka tahu bahwa teriakan itu dilambari oleh aji Kilatbumi.
Ajian Kilatbumi, siapa yang tidak kenal pada kesaktian andalan Ranggalawe yang satu ini. Ketika berhadapan dengan Mantri Segara Winotan, Rangga Lawe menggunakan ajian ini sebagai pamungkas. Saat itu Winotan susah sekali untuk dikalahkan, bahkan Ranggalawe beberapa kali terpukul jatuh oleh ajian Guntursewu.
Ketika untuk kesekiankalinya Witotan melontarkan ajian Guntursewu, Rangga Lawe dengan segera memasang aji Sasrabumi. Dan dibiarkannya Witonan mengobral pukulan.
Siapapun yang melihat jalannya pertarungan saat itu menjadi tercekat. Kaki-kaki Rangga Lawe tertanam ke tanah hingga lutut dan tubuhnya terbanting ke kiri, kanan, depan, belakang akibat cecaran pukulan Winotan. Dari bibir Rangga Lawe keluar sedikit darah segar yang menandakan bahwa ia terluka dalam.
Hampir saja Raden Wijaya melompat untuk menghadang pukulan Winotan ketika tiba-tiba tanah dimana Rangga Lawe berdiri terbelah-belah diiringi bunyi menggemuruh.
Kejadian selanjutnya sungguh-sungguh dahsyat, Rangga Lawe melesat menghadang pukulan Winotan yang masih dilambari aji Guntursewu. Dan benturanpun terjadi menimbulkan bunyi menggelegar. Dua tubuh terpental jatuh. Rangga Lawe tergeletak pingsan, sementara tubuh Segara Winotan hangus.
Adalah Mahisa Anabrang yang saat itu mengobati dan menunggui Rangga Lawe beberapa saat hingga pulih. Adapun Wijaya, Sora, Nambi, Halayuda, dan yang lainnya terus bertempur menghabiskan sisa-sisa pasukan Kediri.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Kedua, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.