Ponselnya sih
berkualitas, bukan barang abal-abal. Tapi cara memasarkannya mungkin saja
ilegal atau tidak sesuai prosedur. Entah sebagian atau seluruhnya.
Demikian pula
dengan Islam, ajarannya sih maha luhur. Tapi bisa saja cara mendakwahkan atau
menyebarkannya tidak sesuai dengan tuntunan. Misalnya ketika dakwah tersebut
berlangsung di Nusantara.
Pada umumnya
kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan maupun
rakyat dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana dakwah
oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan
menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai
kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
Munculnya istilah
"Layang Jamus Kalimasada" dapat dikategorikan sebagai pemelintiran
yang sanggup mengecoh. Dan hal itu dilakukan karena jika menggunakan istilah
"Syahadatain" sangat sedikit yang mau beralih ke Islam pada jaman
dulu.
Lalu mengapa
dakwah non syaríah tersebut dilakukan? Bisa jadi karena :
1. Para pendakwah
nyaris putus asa,
2. Para pendakwah
terlalu berorientasi pada kuantitas,
3. Motif politik
dan ekonomi lebih dominan dibanding misi suci.
Rumitnya
kompleksitas metode dakwah pada saat itu dapat digambarkan demikian :
1. Yang ingin
ditanamkan adalah Syahadat,
2. Yang digunakan
adalah istilah Layang Jamus Kalimasada,
3. Yang ditokohkan
adalah dalang Kanda Buana. Bahkan pada masa selanjutnya menggunakan tokoh
Yudistira yang notabene beragama Hindu.
Tokoh Yudistira
dipelintir pula sekaligus dimanfaatkan. Inilah salah-satu 'azas manfaat' yang
sedemikian mujarab pada jamannya.
Ini adalah sejenis
introspeksi diri bagi sesama muslimin akan sejarahnya di masa lalu.
Selanjutnya : Serulah Manusia Ke Jalan Tuhanmu dengan Hikmah
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Penyebaran Islam yang Syar'i dan yang Kontroversial, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.