Dengan memaksa diri saya
terus menonton tayangan demi tayangan sinetron yang berjudul Pedang Naga Puspa.
Sinetron tersebut disiarkan oleh salah-satu stasiun televisi swasta Indonesia.
Saya katakan memaksa diri karena sejak tayangan perdanapun sinetron tersebut
nampak tidak memiliki greget. Tapi tetap saya tonton karena ingin peduli pada
karya anak bangsa.
Bila saya mampu memaksa diri, ternyata tidak demikian dengan
yang lain. Mereka setelah menonton tayangan perdananya, langsung tidak mau
menonton lagi pada tayangan selanjutnya. setidak-tidaknya itu yang saya
perhatikan dari orang-orang terdekat.
Sinetron Pedang Naga Puspa yang merupakan remake dari cerita
Tutur Tinular ini ratingnya memang tidak bagus sehingga sinetron ini tidak
tayang lagi. Sinetron Pedang Naga puspa sempat dirubah jam tayangnya beberapa
kali namun rating sinetron ini masih jauh di bawah harapan.
Memang, tetap ada segmen tertentu yang menggandrungi
sinetron ini, tetapi sepertinya tidak luas. Sungguh berbeda dengan sinetron
Tutur Tinular produksi tahun 1997 yang sedemikian mampu memikat hati banyak
pemirsa.
Para fans yang menunggu sinetron ini tayang setiap harinya
tentu kecewa karena tentu tidak akan dapat menyaksikan sinetron ini lagi.
Sinetron Pedang Naga Puspa akhirnya resmi tamat tanggal 31 Desember 2015
padahal ceritanya masih belum berakhir.
Lalu faktor apa sih yang membuat sinetron tersebut tidak
begitu mampu memikat penonton? Beberapa di antaranya adalah :
Tidak di-dubbing
Entah pertimbangan apa yang membuat sinetron Pedang naga
Puspa tidak mau menggunakan jasa para dubber. Padahal hal ini jelas telah
memutus suatu "tuah" keberhasilan.
Pihak produsen mungkin lupa bahwa keberhasilan sebagian
besar sinetron kolosal Indonesia tahun 1990-an adalah karena peran para dubber
sebagai salah-satu kunci suksesnya. Tuah ini didapat karena para produsen saat
itu sangat paham bahwa booming Sandiwara Radio bisa dijadikan inspirasi.
Entah karena fakta bahwa sandiwara radio tidak lagi booming,
atau karena hal lain, maka peran para dubber tidak lagi dilirik. Padahal jika
menilik keberhasilan sejumlah film serial impor, yang sejenis dengan sinetron,
seperti Mahabharata misalnya, para dubber justru memberi kontribusi yang sangat
signifikan.
Tidak seperti sinetron impor, sinetron Indonesia adalah
berbahasa Indonesia, sehingga dari sisi praktis bisa saja tidak menggunakan
peran dubber. Tetapi yang nampaknya tidak boleh dilupakan, sejak tahun 90-an
atau bahkan 80-an, telinga para pemirsa Indonesia telah kadung dimanjakan oleh
suara para dubber yang berkarakter khas dan kuat.
Gagal Menghidupkan Peran Peramai
Dalam benak para kreator sinetron ini, mungkin ada semacam
keinginan untuk memberi sentuhan melalui peran para tokoh peramai.
Ingat sinetron Jaka Tingkir tahun 90-an yang cukup sukses?
Ya, di sana ada tokoh Dadung Awuk. Perannya cukup sukses dalam menghidupkan
suasana. Sayangnya hal ini gagal diulangi pada sinetron Pedang Naga Puspa.
Tokoh Wirot nyaris tidak mampu meramaikan suasana.
Peran Beberapa Tokoh Utama Yang Ganjil
Nampaknya pemeran tokoh Raden Wijayapun termasuk yang gagal
membawa misi keberhasilan sinetron ini. Karakter Raden Wijaya terkesan meledak-ledak,
nyaris mirip seperti Ardaraja. Terlebih agak sering terlihat mimik sinis. Hal
ini terasa sebagai sebuah degradasi dibanding Tutur Tinular 1997.
Pemeran Arya Dwipangga malah nampak lebih pas untuk
memerankan Raden Wijaya, dan sebaliknya.
Pada Tutur Tinular 1997 tokoh Raden Wijaya mendulang sukses
ketika diperankan oleh Agus Kuncoro, yang mendapat penguat karakter dari dubber
sekelas Edy Dosha.
Tokoh Mpu Tong Bajil nampaknya ditata-ulang atau ditampilkan
berbeda secara karakter dibanding pada sinetron Tutur Tinular. Dari segi
tongkrongan sebenarnya tidak ada masalah, tapi dari sisi karakter justru sangat
mengganjal. Tokoh yang satu ini jarang berdialog panjang, namun sekali
berkata-kata kesannya malah melelahkan untuk didengar.
Menurut saya Baron Hermanto terlalu lebay dalam memerankan
Mpu Tong Bajil. Terutama dengan cerocosan "bla...bla...bla...kotoran
codot" yang terlalu sering diulang-ulang.
Tidak semua gagal memang, tokoh Kamandanu terbilang
berhasil, juga tokoh Mpu Ranubaya yang diperankan oleh Barry Prima. Tokoh Mpu
Ranubaya juga ditata-ulang. Bila pada sinetron Tutur Tinular ia terkesan agak
konyol, terutama ketika mempermainkan para tamu dari Mongol, maka pada sinetron
Pedang Naga Puspa malah terkesan serius. Tapi penataan ulang untuk karakter Mpu
Ranubaya nampak tidak bermasalah.
Akting para pemeran tokoh seperti Kamandanu, Dewi Sambi, Mpu
Ranubaya, Mpu Renteng, Nari Ratih, Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora, dan yang
lainnya nampak baik-baik saja, meskipun tanpa dukungan dubber.
Seting Suasana yang Tidak Alami
Dari segi gambar dan efek, sinetron Pedang Naga Puspa memang
lebih baik dibanding sinetron Tutur Tinular 1997. Hal ini tentu karena
penerapan teknologi yang lebih modern. Tapi sayangnya kualitas gambar dan efek
yang lebih baik ini berada pada suasana yang terkesan tidak alami. Atau mungkin
pula kesan tidak alami ini timbul karena efek yang tidak tepat guna.
Penyebab Lain
Nampaknya ada satu penyebab lain yang menjadikan sinetron
Pedang Naga Puspa ini kurang sukses. Penyebab itu tiada lain adalah eksistensi
sejumlah sinetron impor.
Sejumlah film serial impor, yang sebenarnya sama saja dengan
sinetron kolosal, seperti Mahabharata, Ramayana, Krishna, Suryaputra Kharn, dan
sejenisnya, nampak jauh lebih mampu memikat hati pemirsa.
Sekarang sinetron Pedang naga Puspa tidak lagi tayang. Hal
yang sebenarnya sangat saya sayangkan. Karena walau bagaimana saya tetap
mencintai karya anak bangsa sendiri. Seperti apapun kualitasnya.
Saran
Belum tentu berhasil juga memang. Tapi perlu dicoba. Jika
ingin menayangkan sinetron kolosal semacam ini maka lebih baik menggunakan
style seperti Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, atau Mahkota Majapahit
produksi tahun 90-an. Dan yang perlu dilakukan hanyalah memperbaiki kualitas
gambarnya saja.
Dibanding sinetron-sinetron kolosan Indonesia tahun 2000-an,
sinetron kolosan Indonesia tahun 1990-an memang hanya kalah dari sisi kualitas
gambar. Selebihnya menang telak.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Ulasan Sinetron Pedang Naga Puspa, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.