Budaya lokal ibarat bambu runcing milik bangsa sendiri.
Budaya asing ibarat senapan hasil rampasan dari penjajah.
Syukurlah, untuk berjuang masih jauh lebih banyak yang waras
berpikir dengan memilih senapan hasil rampasan, bukan bersikukuh pada bambu
runcing.
Allah Maha Adil, secara sunatullah senapan harus lawan
senapan agar berimbang. Adapun pengecualian dalam bentuk mukjizat atau karomah,
dimana bisa saja bambu runcing mengalahkan senapan, hanya bisa terjadi secara
sporadis dan individual, bukan terjadi pada kelompok.
Dulupun Indonesia bisa diproklamasikan karena Jong Sunda,
Jong Java, Jong Selebes, Jong Ambon, Jong Sumatra, dsb rela untuk sejenak
meninggalkan atribut-atribut lokal dan bersatu-padu menggunakan cara-cara
internasional.
Pada pembukaan UUD 1945 ada paragraf yang berbunyi : Atas
berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa bla... bla... bla..!
Ternyata rahmat Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa hadir jika
manusia tidak melanggar sunatullah. Serta tidak memenuhi alam khayalannya
dengan berharap karomah turun.
Kami manusia biasa, jadi akan berpikir dengan cara manusia
biasa pula. Demi mengusahakan hasil yang luar biasa bagi bangsa ini. Dan
namanya usaha bisa berhasil bisa pula gagal.
Lalu kapan budaya lokal alias bambu runcing bisa kembali
dipamer-pamerkan? Nanti, setelah Indonesia kembali merdeka dari penjajahan
ekonomi multibangsa.
Bambu runcing adalah milikku, milik bangsaku, tentu saja aku
lebih merindukan ia dibanding senapan. Tentu saja aku tidak akan
meninggalkannya secara total. Hanya saja untuk saat ini aku dituntut untuk
berpikir lebih logis.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Aku Rindu Bambu Runcing Di Saat Menggunakan Senapan, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.