Dalam berbagai kesempatan, aku sering mengekspresikan
kekaguman pada suku Dayak, suku Batak, suku Minang, suku Bugis, suku Jawa, dll.
Bagi yang sukuisme, tindakanku dianggap tidak percaya diri
atau malah khianat. Tapi bagi yang jembar manah, mereka menilaiku sebagai
ksatria atau gentlement.
Begitulah manusia, selalu beragam cara pandangnya.
Aku sih asoy geboy saja, toh apa sulitnya bagi Allah untuk
menciptakan atau melebihkan satu sukubangsa terhadap sukubangsa lainnya.
Tidak ada beda dengan apa sulitnya bagi Allah untuk
menciptakan orang Eropa yang tinggi-tinggi dibanding orang Melayu yang
sedang-sedang, dari sisi postur tubuh.
Tidak ada beda ketika Allah menciptakan suku Quraisy menjadi
lebih terkemuka dibanding suku-suku lainnya di jazirah Arab.
Bagiku ketegasan Sultan Hamengkubuwono yang melarang warga
non pribumi untuk punya hak kepemilikan tanah di Yogyakarta bukanlah sukuisme,
itu nasionalisme.
Nasionalisme yang ditunjukkan oleh sri sultan masih
proporsional dan relevan karena nasionalismepun bila terlampau keras seperti
Hitler di jaman dulu, karakternya menjadi setara dengan sukuisme,
primordialisme, atau ashobiyah.
Boleh dong aku mengagumi sri sultan untuk kasus ini,
meskipun beliau bukan orang Sunda. Aku bisa kagum pada beliau karena aku tidak
rasialis, tidak sukuisme.
Mungkin ada yang menyalahkan cara pandangku. Bukan masalah,
toh aku sendiri selalu berusaha untuk tidak merasa paling benar. Memangnya
kamu!
* Kamu = bagi yang merasa. Bagi yang tidak merasa berarti
kita se-frekuensi.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Wujud Nasionalisme yang Proporsional dan Relevan, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.