Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu sedang kamu melihat(nya). Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan mendatangi wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak dapat mengetahui (akibat perbuatanmu)." (QS. an-Naml: 54-55)
Psikolog Dadang Hawari mengatakan, kelompok LGBT sebenarnya
dapat disembuhkan. Sebab, LGBT merupakan penyimpangan atau kelainan orientasi
seksual karena bukan dari gen, tapi akibat pengaruh lingkungan. Namun, Dadang
mengatakan, kesembuhan harus diawali dari kesadaran sang pelaku LGBT untuk
berubah. “Yang penting yang bersangkutan menyadari bahwa apa yang dia lakukan
tidak sesuai fitrahnya," ujar Dadang.
Sebenarnya cukuplah sudah apa yang dikatakan oleh Dadang
Hawari tersebut sebagai pijakan untuk tegas mengatakan bahwa LGBT adalah
penyakit buatan, bukan cacat bawaan. Dan bila dikaitkan dengan hak asasi
manusia, apa perlunya melindungi mereka yang telah terjangkit penyakit ini
dalam bentuk legalitas. Andaipun harus ada perlindungan, mendorong mereka untuk
bisa sembuh justru jauh lebih berguna.
Pengesahan terhadap komunitas LGBT akan berdampak sesuai
fenomena bola salju, semakin menggelinding akan semakin membesar. Hal ini dapat
dipahami karena dengan adanya pengesahan tersebut maka kampanye demi kampanye
mereka dalam rangka menularkan penyakitnya akan sedemikian leluasa.
Sekarang ini benteng terakhir yang sekiranya akan mampu
membendung paham LGBT bukan lagi hukum konstektual melainkan keengganan kaum
mayoritas secara moral. Demikianlah adanya, karena jumlah non LGBT di Indonesia
pasti jauh lebih banyak dibanding LGBT.
Suasana Semakin Keruh
Sungguh keruh suasananya ketika insan-insan semacam sang
Ulil mengemukankan argumen-argumennya yang jelas-jelas mendukung eksistensi
LGBT.
Sang Ulil bertanya, mengapa Allah tidak juga menurunkan azab
seperti pada kaum Luth, padahal hukum negara Indonesia mentoleransi LGBT?
Jawabannya sederhana :
Karena rakyat di negara Indonesia mayoritas bukan penganut
LGBT, Dengan kata lain LGBT itu minoritas. Jika sang Ulil mampu, teruskan saja
berdakwah hingga LGBT menjadi kaum mayoritas. Dan tunggu azab itu datang.
Jika jawaban pertama salah, maka sebenarnya azab tersebut
telah turun dalam bentuk lunak. Kehadiran manusia-manusia macam sang Ulil
adalah azab tersendiri bagi Indonesia.
Jika dakwah sang Ulil sukses, artinya mayoritas penduduk
Indonesia menjadi LGBT, maka tidak akan ada lagi regenerasi, atau setidaknya
terhambat secara besar-besaran.
Betapa tidak, pedang bertemu pedang dan tameng bertemu
tameng, tidak akan menghasilkan keturunan, bukan? Hehehe.
Saya pribadi bukanlah insan yang setuju terhadap legalitas
LGBT, tetapi bukan pula insan yang setuju apabila kaum LGBT mendapat perlakuan
yang bersifat kekerasan. Ajaran Islam yang luhur serta budaya Timur yang santun
tentu akan lebih mengutamakan pendekatan persuasif dibanding intimidasi. Namun
demikian, senada dengan Dadang Hawari, pendekatan persuasif ini akan sia-sia
bila kaum LGBT sendiri tidak ingin sembuh.
Bila kaum LGBT tidak menghentikan kampanye-kampanyenya, dan
malah meningkatkan, maka itu adalah indikasi bahwa mereka tidak ingin sembuh.
Dan dalam kondisi seperti ini sangat mungkin ada segmen masyarakat non LGBT
yang tidak lagi mampu bersabar.
Ingatlah Pada Ibumu!
Kebanyakan yang terkena HIV AIDS itu adalah kaum LGBT. Bila
mereka mati akibat HIV itu, yang paling berduka tentu ibunya, jika ia masih
punya ibu.
Sekali lagi, yang paling berduka itu ibunya, bukan presiden
RI. Dan bukan pula tokoh-tokoh pembela LGBT lainnya.
Bila mayat mereka mengeluarkan darah dan kotoran, maka besar
kemungkinan yang akan membersihkan adalah ibunya pula, bukan para tokoh pembela
LGBT yang selalu berlindung di balik alasan hak asasi manusia.
Ibunya yang akan membersihkan itu, karena para suster dan
perawatpun pasti berpikir ulang jika berurusan dengan mayat mantan pengidap HIV
AIDS. Andaipun akhirnya mau, tentu dengan perjuangan batin yang berat.
Bila anda seorang ibu, maka semestinya mampu berpikir waras.
Dan tidak mengidolakan tokoh yang memberi ruang pada LGBT di republik ini.
Itu bila anda waras betulan, bukan sekedar merasa waras!
Bila LGBT Indonesia akhirnya dilegalkan, tentu tidak
terlepas dari peran sentral sejumlah tokoh nasional. Mereka bisa saja bukan
pengidap LGBT tetapi mendukung. Dan hal ini diiringi oleh sikap ambigu sebagian
masyarakat Indonesia.
Sayangnya kamu ambigu, mbak manis. Berkali-kali mengatakan
tidak mendukung pada eksistensi LGBT, tetapi anehnya anda malah benci pada
orang-orang yang berusaha mengentaskannya. Dan sebaliknya sangat memuja pada
tokoh-tokoh yang melegalkan LGBT. Anehnya lagi, anda merasa bahwa diri anda
waras.
Kadang saya berpikir, apa mungkin anda tidak tahu bahwa
tokoh yang hampir setiap saat anda share itu, anda kagumi dan doákan itu,
adalah fasilitator LGBT. Atau apakah anda adalah seorang pengagum yang membabi
buta?
Sikap ambigu biasanya diiringi oleh ironisme. Para tokoh
yang mendukung LGBT misalnya, banyak dari mereka yang non LGBT. Dengan demikian
merekapun tidak akan suka apabila ada anak keturunannya yang tertulari kelainan
ini.
Ada Apa Di Balik Ini Semua?
Di balik sebuah isu besar tentu ada tujuan yang tidak kecil.
Lalu ada apa di balik sejumlah keberpihakan terhadap kaum LGBT? Berbagai asumsi
logispun bermunculan. Dan yang paling mengerikan adalah ketika ada yang
berasumsi bahwa tujuan dari ini semua adalah penghambatan pada populasi manusia.
Bahwa ada sebuah skenario besar di balik keberpihakan pada
LGBT, sayup-sayup sampai muncul berupa pernyataan dari sejumlah Facebooker,
tentang status-status mereka yang menghilang karena menentang LGBT.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Review Tentang Dinamika LGBT Indonesia, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.