Rasulullah hidup di jaman kesusastraan Arab sedang mencapai
titik puncak. Oleh karena itu sangat mudah menemukan orang yang pandai bersyair
atau bertutur kisah dengan ungkapan-ungkapan penuh perumpamaan.
Tetapi ternyata rasulullah tidak menggunakan cara itu untuk
berdakwah. Beliau memilih bahasa atau kalimat-kalimat sederhana yang langsung
mudah bisa dipahami. Seperti tercermin pada hadits-haditsnya.
Kalaupun ada perumpamaan, maka itupun sangat simpel dan
ditujukan untuk kesantunan. Misalnya dalam kasus zinah beliau mengambil
perumpamaan : ..... seperti benang masuk pada lubang jarum .....
Bila ingin mengajarkan berbuat baik pada tetangga, maka
cukuplah beliau berhadits seperti ini :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.
Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang
tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘” (HR. Bukhari 6016,
Muslim 46)
“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga
sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108, dishahihkan
Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)
“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu
lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara
yang baik” (HR. Muslim 4766)
“Beliau menyembelih seekor kambing. Beliau lalu berkata
kepada seorang pemuda: ‘akan aku hadiahkan sebagian untuk tetangga kita yang
orang Yahudi’. Pemuda tadi berkata: ‘Hah? Engkau hadiahkan kepada tetangga kita
orang Yahudi?’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
‘Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa
tetangga itu akan mendapat bagian harta waris‘” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul
Mufrad 78/105, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)
Beliau cukup berbahasa sederhana seperti itu, tidak dengan
dongengan panjang lebar penuh kiasan yang bisa salah tafsir.
Di Indonesia ada budaya Melayu yang pendekatan bahasanya
seperti rasulullah. Tidak terlampau banyak mengandalkan kias, simbol,
perumpamaan, dan sebutan-sebutan lain yang mempersyaratkan bahwa sesuatu itu
"harus dikupas dulu lapis demi lapis". Dalam dongeng Malin Kundang
misalnya, esensi cerita langsung bisa dipahami tanpa harus mengernyitkan dahi
terlalu berkerut. Tanpa harus ada yang mengupasnya secara lapis berlapis.
Bila ada budaya lain di Indonesia, yang terlalu mengandalkan
kepada silib, sindir, sindang, siloka, sasmita, simbol, kias, dan sejenisnya,
aku malah bertanya : Apa iya itu Islami? Masa sih untuk mengajarkan moral saja
harus menggunakan bahasa berlapis? Apa tidak bisa hanya selapis saja?
Islam kan tidak mengajarkan kesulitan, masa budaya harus
mempersulitnya?
Islam tidak pilih kasih. Budaya Arabpun bila tidak Islami
akan dikoreksi. Termasuk juga mengkoreksi budaya-budaya lain yang terlalu
berbelit-belit dalam menyampaikan sebuah ajaran.
Cara berbahasa rasulullah dan tokoh sejenisnya bisa jadi diadopsi
oleh manajemen barat. Bahasa manajemen barat sangat lugas dan mudah dicerna.
Termasuk pada tutorial-tutorial teknisnya.
Titik berat dari tulisan ini bukanlah anti pada perumpamaan karena di dalam Al Qurán juga Allah menggunakannya. Bukan, bukan anti pada perumpamaan, ini hanya menyangkut kritisi terhadap kadarnya saja. Dengan kata lain perumpamaan dipakai seperlunya saja, dan tidak dijadikan menu utama.
Kebudayaan yang masih mengandalkan bahasa berbelit-belit
akan makin ketinggalan kereta.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Rasulullah Memakai Bahasa Simpel Dalam Mendidik, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.