Belajar bersama ustadz kampung jauh lebih
nyaman dibanding menyimak sejumlah tutur para budayawan gadungan. Yaitu
budayawan-budayawan yang mengaku-aku sendiri.
Ustadz kampung tapi tidak kampungan. Ia
berkata :
"Kang, Allah telah menitipkan bahasa
Arab untuk pengantar agama kita. Bahasa Inggris untuk mendalami teknologi
canggih. Bahasa Indonesia untuk bernegara. Dan bahasa daerah masing-masing
untuk yang sesuku. Semuanya itu titipan yang harus dimanfaatkan di dalam
kebaikan dan kebenaran."
Menurutku pernyataan ini yang jauh lebih
berwawasan, adil, dan sesuai fitrah manusia. Yang keluar dari fitrah itu,
jangankan mampu membawa kebahagiaan bagi umum, mencapai kebahagiaan pribadi
saja tidak mampu.
Salah-satu sikap yang tidak fitrah adalah
rasialis alias sukuisme, padahal rasulullah jelas-jelas melarang rasialis.
"Bukan dari golongan kami orang yang
menyerukan kepada 'ashabiyah (fanatisme kesukuan), bukan dari golongan kami
orang yang berperang demi 'ashabiyah, dan bukan dari golongan kami orang yang
mati mempertahankan 'ashabiyah". (H.R. Abu Daud).
Salah-satu ciri rasialis adalah merasa
memiliki suatu kebudayaan dan mewajibkan orang lain yang sesuku untuk hanya mau
menggunakan kebudayaan itu. Padahal semua itu hanya amanat, titipan, dan cobaan
dari Allah.
Bagi kaum rasialis alias sukuisme alias
ashobiyah, dunia akan terasa sangat sempit karena yang di luar kebudayaan
sukubangsanya dianggap tabu untuk dipakai.
Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari
mereka tetap saja menggunakan barang-barang karya kebudayaan asing. Sungguh
munafik dan tidak tahu malu jika ditelisik sampai ke sana.
Kaum
rasialis umumnya selalu menunjuk hidung orang lain dan menuduh bahwa orang lain
tersebut iri dan tidak ingin terkalahkan. Padahal itu kamuflase jiwa. kaum
rasialislah yang sesungguhnya tukang memelihara rasa iri. Sementara orang lain
di luar sana jangankan untuk iri, ingat saja tidak kepada si rasialis tersebut.
Kaum rasialis selalu menuduh buruk pada
orang lain, padahal keburukan yang dituduhkan itu sangat mungkin menumpuk dalam
diri mereka sendiri. Sedemikian menumpuk sehingga tidak mampu lagi
berintrospeksi.
Sungguh beruntung mereka yang taát pada
rasulullah dengan menjauhi rasialis alias ashobiyah. Dunia menjadi terasa sangat
luas dan membahagiakan. Yang penting tetap berpegang pada bimbingan Allah dan
rasul-NYA.
Aku berlindung kepada Allah dari sikap
rasialis.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Mengapa Harus Rasialis Di Tengah Luasnya Dunia? , semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.