Ketika bangsa kita masih mengalami penjajahan fisik, tidak
henti-hentinya para pejuang berjibaku mengambil kembali kemerdekaan. Saya
menekankan pada kata mengambil kembali, bukan merebut. Jika disebut merebut
maka maknanya adalah kemerdekaan orang lain yang kita rampas. Jika disebut
mengambil kembali maka maknanya adalah kemerdekaan kita yang pernah direbut
bangsa lain kita ambil lagi sebagai hak.
Saat itu ada masa dimana perjuangan mengambil kembali
kemerdekaan dilakukan secara lokal kedaerahan. Sejarah mencatat ada Jong Ambon,
Jong Selebes, Jong Sumatera, Jong Java, dan lain-lain. Hasilnya adalah kandas!
Bangsa kita tetap dijajah.
Kegagalan demi kegagalan perjuangan yang didasari oleh
etnisitas telah membuka kesadaran bahwa cara berjuang yang digunakan kurang
tepat, maka dimulailah era perjuangan baru yang lebih bersifat non lokal dan
strategis,
Adalah organisasi Budi Utomo yang mula-mula menghimpun
gerakan secara luas. Terus membesar seperti efek bola saju dan berakhir manis
ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangan.
Dengan rendah hati pada pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa
kemerdekaan bisa diraih atas berkat Tuhan Yang Maha Esa.
Dari sini sebenarnya telah bisa ditarik benang merah bahwa
rahmat Tuhan Yang Maha Esa ternyata hanya turun ketika perjuangan tidak lagi bersifat
lokal atau etnis melainkan lebih global. Lebih global dalam pengertian
sekat-sekat etnis dibuka dan setiap komponen bangsa melebur diri menggalang
persatuan.
Ada sebuah pertanyaan besar sekarang dimana Indonesia dapat
dikatakan telah dijajah kembali dalam bentuk penjajahan ekonomi. Akankah kita
melakukan siklus perjuangan dengan kembali melakukan perjuangan etnis per etnis
yang dulu telah terbukti gagal?
Jika harapannya adalah rahmat Tuhan Yang Maha Esa kembali
turun, maka semestinya kita langsung saja berjuang ala Budi Utomo. Tanggalkan
sekat-sekat etnis, sukuisme, rasialis, ashobiyah, dan istilah-istilah lainnya
yang semakna.
Opini ini mungkin saja tidak akan sanggup membuka hati
mereka yang kadung rasialis, sukuisme, atau ashobiyah. Bahkan andaipun
dipertegas dengan hadits berikut :
"Bukan dari golongan kami orang yang menyerukan kepada
'ashabiyah (fanatisme kesukuan), bukan dari golongan kami orang yang berperang
demi 'ashabiyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati mempertahankan
'ashabiyah". (H.R. Abu Daud).
Bahkan dalam titik kesadaran tertinggi, jangankan hanya
sukuisme bahkan fanatik kebangsaanpun, seperti Nazi Jerman di masa lalu, dapat
digolongkan sebagai ashobiyah. Dan akhirnya perjuangan terbaik adalah tidak
lagi demi bangsa dan negara tetapi demi ibadah.
Relevan dengan opini ini, andapun bisa membaca opini saya
yang berjudul Mengapa Harus Rasialis Di Tengah Luasnya Dunia?
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Ketika Perjuangan Etnis Berujung Kandas, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.