Sering saya menemukan nasihat berbau filosofis sejenis ini :
Belajarlah pada sebatang pohon.
Dari seekor lebahpun kita bisa belajar.
dsb.
Tidak ada yang salah dari niat si pemberi nasihat, juga
tidak ada yang salah dari makna yang tersirat di dalamnya, hanya saja bila
ditinjau secara makna redaksional maka kesannya menjadi lucu. Manusia itu
makhluk yang diberi keunggulan, masa sih harus belajar pada sebatang pohon?
Hehehe.
Ada solusi dari itu semua, perbaiki saja redaksionalnya agar
antara niat, makna tersirat, serta redaksional menjadi seiring. Kita bisa
menuliskannya seperti ini :
Mengambil hikmah dari fenomena pohon.
Hikmah dari kehidupan seekor lebah.
Semulia-mulianya manusia adalah rasulullah. Beliau paling
etis saat berbicara, beliau paling pandai dalam berkata-kata, tapi sedikit
sekali menggunakan kalimat-kalimat yang filosofis terlebih diplomatis.
Hadits-hadits beliau lebih diwarnai oleh bahasa operasional, deskripsi, dan
tutorial. Karena itulah bahasa beliau sangat universal. Mudah dipahami oleh
orang yang paling bodoh hingga yang paling pandai tanpa kecuali.
Wahai semua yang merindukan perubahan kearah yang lebih
baik, anda tentu tak akan sungkan menghayati gejala alam yang terjadi pada
katak saat ia menerima perubahan. Jadi siapkan dua buah panci berisi air dan
dua ekor katak yang biasa dimasak. Untuk panci yang pertama rebuslah air hingga
mendidih, sedangkan untuk panci kedua letakkan saja pada kompor tanpa harus
menyalakan apinya. Sekarang masukkan katak pada masing-masing panci dan anda
tinggal mengamati. Dan bila ini merepotkan maka pergilah ke tukang swieke dan
amati cara ia memasak katak. Bila masih merepotkan maka cukuplah anda hanya
membaca tulisan ini saja.
Katak yang dimasukkan pada panci pertama, begitu badannya
bersentuhan dengan air mendidih akan segera meloncat atau berusaha terbebas
darinya. Setelah terbebas maka yang tertinggal dibadannya adalah luka didih
yang membuat ia menderita. Adapun katak pada panci kedua akan tenang-tenang
saja. Ia merasa nyaman berada di air sejuk. Kini anda tinggal menyalakan kompor
pada panci kedua tsb. Caranya adalah dengan memberikan api yang kecil terlebih
dahulu kemudian berangsur membesar.
Suhu air pada panci kedua akan naik perlahan-lahan. Setiap
kenaikan suhunya tak akan terdeteksi oleh si katak sehingga akan tetap
tenang-tenang saja. Kemudian akan tiba pada saatnya ia meregang nyawa secara
tiba-tiba saat air sudah mendidih. Sang katak sesungguhnya telah dipaksa mati dengan
cara tanpa paksaan.
Wahai anda yang brilian dan rindu perubahan, kebenaranpun
akan terasa bagaikan air mendidih bagi yang sudah terbiasa bergelimang dalam
kesalahan. Tinggal anda memilih apakah mau menggunakan cara panci pertama
ataukah cara panci kedua dalam upaya "membunuh" gelimang-gelimang
kesalahannya. Dalam bahasan ini tentu kesalahan yang umum terjadi di
masyarakat. Kesalahan-kesalahan kecil yang perlu dikoreksi tanpa harus
berurusan dengan hukum.
Banyak tradisi yang salah kita tahu, banyak paradigma yang
salah kita tahu, banyak pola pikir yang salah kita tahu, banyak kebiasaan yang
salah kita tahu, banyak persepsi yang salah kita tahu. Dan bukan sekedar tahu
tapi sangat mungkin kita adalah pelaku. Maka sebaik-baik cara adalah mengajak
dan bukan menyuruh. Hindarkan diri kita dari perasaan 'paling' : paling benar,
paling pintar, paling hebat, paling tahu, paling nyunda, paling nasionalis,
paling agamis, dan sebagainya.
Sikap merasa 'paling' biasanya mendorong manusia untuk jadi
pemaksa kelas berat. Memaksa dengan cara paksaan, bukan dengan cara sistematis.
Memaksa dengan cara sistematis itulah yang disebut dengan pengarahan. Kita tak
dapat menghindarkan diri dari sunatullah bertajuk 'memaksa' karena dalam diri
manusia ada sifat membangkang sekalipun untuk kebaikan atau bahkan kebenaran.
Memaksa, inipun hanya dapat dilakukan pada mereka yang telah
berkomitmen dalam kebersamaan ( seiman, senegara, seorganisasi, setanggung
jawab, atau ikatan lainnya ), jadi tidak bisa diterapkan untuk semua orang.
Memang, kita tidak perlu belajar pada sang katak, terlebih
menirunya. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengambil pelajaran dari apa yang
dialaminya.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Sesungguhnya Kita Tidak Perlu Belajar Pada Katak, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.