Dalam khasanah kita hingga saat ini posisi anak memang hampir selalu tertekan atau setidak-tidaknya diletakkan nilai keagungannya di bawah orang tua. Tentang hal ini terpatri pada beberapa contoh atau fakta berikut ini :
- Kisah tentang anak yang durhaka pada orang tua, ada. Malin Kundang yang jadi ikonnya. Tapi kisah orang tua yang durhaka dari anaknya tidak ada. Padahal dari sisi amal dan dosa, orang tuapun banyak yang berbuat tidak baik pada anak-anaknya,
- Entah mulai kapan ungkapan Kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepenggalah populer di masyarakat kita. Yang pasti masa hidup ibu berada di antara nenek dan kita. Ungkapan tersebut jelas-jelas mendiskreditkan posisi anak,
- Dalam hal umum seringkali ada keluhan dari para orang tua yang senada ini, "Anak-anak jaman sekarang berbeda ya dengan sikap kita dahulu. Sunggu8h memprihatinkan!"
Ibu kita pasti pernah jadi seorang anak hingga memperoleh kasih sayang sepanjang jalan dari ibundanya. Dan ibundanya itu adalah nenek tentunya bagi kita. Lalu sang waktu terus berlalu sampai pada gilirannya ibupun mendapat tambahan kasih sayang sepenggalah dari kita.
Tiga orang manusia seketurunanpun hadirlah sudah di dunia yaitu nenek, ibu, dan kita. Ibu mendapat kasih sayang nenek sepanjang jalan. Kemudian dari kita mendapat sepanjang galah. Itulah perhitungannya bila kita berpegang pada ungkapan di atas. Dan ini tentulah hanya bahasa kiasan, bukan dalam makna sebenarnya.
Benarkah nenek lebih menyayangi ibu dibanding kita, sehingga ungkapan pada paragraf pertama lahir ? Ah mungkin sang pembuat ungkapan lupa, atau malah tidak tahu, tentang ini :
Sabda Rasulullah saw: Apabila seseorang anak adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah amalannya melainkan dari 3 hal yaitu,1. Sedekah yang mengalir ( jariah ),2. Ilmu yang bermanfa'at, dan 3. Anak yang shaleh/shalehah yang mendoakan untuknya. Diriwayatkan oleh Muslim.
Disana disebutkan 'anak yang shaleh/shalehah' dan bukan 'ibu yang shaleh/shalehah'. Ini berarti sebuah kesempatan bahwa seorang anak masih bisa menyayangi ibunya meskipun si ibu telah meninggal.
Bila seseorang meninggal, maka terputuslah ia dari jangkauan kasih sayang ibunya, tapi tidak putus dari jangkauan kasih sayang anaknya. Lalu masihkah ungkapan di atas berlaku wahai saudaraku ?
Maka janganlah pernah membeda-bedakan kasih sayang seorang anak dan seorang ibu karena kita tidak tahu persis kadarnya. Sesungguhnya terlampau naif untuk menduga-duga seperti yang dilakukan si pembuat ungkapan.
Bila mau fairplay, keburukan seorang anak tidak mustahil terbentuk dari hasil didikan yang salah dari orang tuanya. Ibarat menanam pohon maka kualitas buahnya sangat tergantung kepada bagaimana cara pohon tersebut dirawat, selain tentunya memperhatikan pula faktor kualitas bibit serta faktor kualitas tanah tempat pohon tersebut ditanam.
Tentang keburukan generasi muda sekarang tinjauannya sama. Hal itu juga bisa saja muncul dari hasil warisan pendidikan yang kurang baik dari generasi sebelumnya.
Wallahu a'lam bishawab.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Kadar Kasih Sayang Anak Jangan Direndahkan Begitu Saja!, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.