Aku si anak kucing. Bukan atas keinginanku hadir ke dunia
ini sebagai binatang berjenis kucing. Dan untuk hal yang satu ini aku memang
tidak akan bisa memilih sampai kapanpun. Itulah yang disebut takdir. Aku
tinggal menjalaninya saja sesuai dengan yang telah digariskan Allah untuk
seekor kucing. Termasuk serba dinamika yang harus aku alami.
Aku diberi nama Qimy oleh manusia yang memeliharaku. Ia memang
tidak pernah mau disebut sebagai pemilik karena baginya aku hanyalah milik
Allah. Dan andaipun ia mau disebut sebagai pemelihara, maka itupun semata-mata
karena Allah. Ia ingin berbuat baik kepada bangsa kami, bangsa binatang.
Khususnya kucing.
Bagiku sebuah nama tidaklah penting sama-sekali. Cukup
makan, cukup tidur, tidak terancam, dan kelak bisa berkembang biak bila panjang
umur, maka itu sudah cukup bagiku sebelum kembali kepada-Nya.
Ya, bangsa kami berumur pendek. Rata-rata hanya berumur 7
tahun saja. Bila sampai berusia 20 tahun, maka itu termasuk langka. Dan bisa
diibaratkan manusia yang telah berumur 100 tahun.
Menjadi takdirku pula lahir sebagai kucing lokal Indonesia
dengan segala keadaannya yang berbeda dengan kucing ras atau impor. Dari sisi
rupiah aku bukanlah jenis kucing yang layak jual karena sedemikian mudah kucing
jenisku ditemukan di negeri ini. Dan itupun bukan sebuah persoalan bagiku.
Karena pada dasarnya hanya ada dua jenis manusia, yang peduli pada bangsaku dan
yang tidak.
Aku kucing betina berumur sekitar 100 hari, jadi masih
pantas disebut anak kucing. Dari sisi kasih sayang induk, aku kurang beruntung.
Di usia 2 bulan indukku menghilang. Mungkin hanya para manusia yang tahu persis
kemana indukku. Atau malah merekapun tidak ada yang tahu.
Dari sisi kumpul bersama saudara-saudara, aku juga kurang
beruntung. Kami dilahirkan dua ekor, satu jantan dan aku betina. Di usia dua
bulan itu pula saudaraku menghilang. Entah kemana. Sebelumnya kakak-kakakku
yang lahir lebih dahulu juga menghilang. Jumlahnya belasan ekor karena indukku
sempat beberapa kali melahirkan sebelum menghilang. Maka jadilah aku
satu-satunya anak kucing yang tersisa.
Manusia yang memeliharaku tentu saja merasa sangat
kehilangan induk serta kakak-kakakku itu. Dan akhirnya semua kasih sayangnya
tumpah kepadaku. Aku sama-sekali tidak dibiarkannya kelaparan.
Aku sendiri agak sulit memahami manusia-manusia yang tidak
mau peduli pada bangsaku, padahal sangat mudah. Kami kucing lokal bukanlah
jenis kucing yang manja dalam hal makanan. Sisa-sisa makanan manusiapun, yang
biasa dibuang ke tempat sampah, kami doyan. Bila sisa-sisa makanan itu
dikumpulkan, dan diberikan pada bangsa kami secara rutin, mungkin akan jadi
pahala. Dibanding dibuang begitu saja ke tempat sampah.
Banyak manusia yang berbicara tentang kasih sayang dan
kepedulian tapi hanya sedikit saja yang mempraktekkannya, terutama untuk bangsa
kami, kucing lokal yang tidak berharap diberi makanan yang mewah-mewah. Mungkin
tidak banyak manusia yang mau menjadikan bangsa kami sebagai ladang pahala
Walaupun sebatang kara, di antara anak kucing mungkin aku
termasuk beruntung. Tidak sedikit di antara anak-anak kucing lainnya, bahkan
yang masih bayi, dibuang oleh manusia sehingga banyak yang mati sebelum dewasa.
Aku sebatang kara tapi bahagia, karena itu aku sering
puring. Terutama ketika manusia yang memeliharaku menggendong dan membelai.
Sesekali induk-jantanku menengok meskipun sepintas-sepintas. Ia datang untuk
sekedar menciumku dan setelah itu pergi. Aku tidak pernah menyusulnya karena
tahu bahwa induk-jantan tidaklah sama kasih-sayangnya dengan induk-betina.
Aku si anak kucing, bangsa kami hidup di antara dua jenis
manusia, dimanapun di belahan dunia ini. Manusia jenis pertama adalah yang
peduli pada bangsa kami, sisanya tidak peduli, atau bahkan jahat.
Selanjutnya : Kriteria Kucing Berdasarkan Kedekatannya Pada
Manusia
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Aku Anak Kucing 100 Hari, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.