Ketika gagasan hingga praktek mengindustrikan sepakbola
muncul, tentu tidak ada niatan sedikitpun dari penggagasnya untuk menghilangkan
rasa nasionalisme dalam jiwa para insan sepakbola, mulai dari pemain, pelatih,
penonton, dan siapapun itu yang pantas disebut insan bola. Tapi sesungguhnya,
karena dalam industrialisasi itu ada faktor materialisme, termasuk iming-iming
uang banyak tentunya, maka resiko seseorang insan bola kehilangan atau minimal
tereduksi nasionalismenya tetap ada.
Dalam setiap kegiatan dan kondisi dapat dikatakan ada
resikonya. Tidak sedikit resiko yang memang akhirnya mengejawantah menjadi
sebuah insiden atau bahkan tragedi, namun tidak sedikit pula resiko yang tetap
menjadi potensi insiden atau potensi tragedi, tidak pernah mengejawantah.
Tentang hal ini, bila industri sepakbola sampai bisa mengikis rasa
nasionalisme, maka itu dapat dikatakan sebagai sebuah tragedi.
Lalu seberapa hebat sih industrialisasi global mampu
mengikis fanatisme kedaerahan dan fanatisme kebangsaan dari dunia sepakbola?
Jawabannya adalah belum sedikitpun mampu mengikis dan nampaknya tidak akan
pernah mampu. Dan hal ini tentulah merupakan suatu fakta yang sangat baik. Terlebih
bila mengingat bahwa, sekali lagi, tujuan industrialisasi sepakbola memang
bukan ke arah sana.
Lalu fakta seperti apa yang menunjukkan bahwa pada sepakbola
masih erat tersemat fanatisme kedaerahan dan fanatisme kebangsaan itu?
Brazil adalah salah-satu raksana sepakbola yang
bersinggungan langsung dengan industrialisasi sepakbola. Mereka terlibat
sebagai pemasok pemain terbanyak. Pemain-pemain mereka laris bukan hanya d
Eropa tapi juga hingga ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia.
Untuk musim 2006, jumlah kontestan dikurangi menjadi 20 dan
CBF mengklaimnya sebagai format yang "definitif". Pada 2006, batas
pada jumlah pemain asing ditetapkan, sehingga tidak ada tim yang bisa memiliki
lebih dari tiga pemain asing di lapangan atau di bangku cadangan dalam satu
pertandingan. Musim dengan jumlah peserta terbesar dari kompetisi adalah: 2000
(116 peserta), 1979 (94 peserta) dan 1986 (80 peserta).
Brazil bisa dikatakan murni sebagai eksportir pemain bola.
Hingga saat ini saya belum menemukan data mengenai siapa saja pemain asing yang
pernah merumput di liga Brazil yang berasal dari Eropa atau non Amerika Latin
lainnya. Pemain asing di liga Brazil paling-paling datang dari Argentina,
itupun sangat sedikit jumlahnya.
Dampak industrialisasi sepakbola ternyata tidak mampu
merubah fanatisme kebangsaan masyarakat Brazil. Dalam setiap pertandingan yang
melibatkan kesebelasan nasional Brazil kita tentu melihat dominasi warna
kuning, hijau, dan biru yang merepresentasikan eksistensi kebangsaan mereka.
Tidak sampai hanya seperti itu, kitapun dengan sangat mudah bisa melihat
seperti apa luapan perasaan mereka ketika timnas Brazil unggul, atau ketika
kalah.
Sekarang kita ke negara kita, Indonesia.
Di liga-liga domestik sekarang ini cukup mudah kita
menemukan pemain asing, di Persib misalnya.
Ketika Persib memenangi kompetisi liga dan pila presiden,
ada segelintir orang Sunda yang nyinyir. Mereka berdalih bahwa kemenangan
Persib tidaklah murni karena dibantu oleh pemain asing. Mendadak sontak adrenalin saya naik dan
segera menyampaikan pesan seperti ini kepada mereka :
Biarlah Persib menjadi bagian dari masyarakat Sunda modern
yang lebih berpikir tentang "bagaimana kualitas seseorang" dan bukan
sekedar mempermasalahkan "dari mana seseorang berasal".
Piala Presiden 2015 akan tetap berada di bumi Sunda koq,
tidak akan dibawa oleh Makan Konate ke negaranya.
Dengan dua piala prestisius berturut-turut, Persib telah
membuktikan bahwa mereka "mampu memanfaatkan pemain asing" bukan
sekedar "bisa dimanfaatkan oleh pemain asing".
Fanatisme kepada Persib adalah fanatisme kesukuan dan
kedaerahan yang dikemas dalam bentuknya yang sangat universal. Maka kehadiran
para pemain asing itu adalah bumbu kesuksesan, bukan menu utama.
Saya menangkap indikasi bahwa orang Sunda yang sinis dan
nyinyir pada kemenangan Persib, dengan dalih di sana ada pemain asing,
sesungguhnya bukan orang Sunda yang benar-benar penggemar bola. Bila sudah
tidak gemar maka manalah mungkin mau memahami. Tapi sayangnya dalam keadaan
tidak paham justru berkoar-koar.
Bila anda penggemar sepak bola sejati, pasti paham bahwa
persaingan abadi Real Madrid dan Barcelonapun sangat kental oleh faktor
etnisitas. Dan itu tidak lantas luntur hanya karena kehadiran pemain asing.
Real Madrid dan Barcelona tetaplah menjadi ikon Spanyol, bukan milik David
Beckham atau Ronaldinho.
Jangan bicara soal budaya dan kebangsaan bila anda tidak
mampu fleksibel menerima kekinian dengan segala dinamika sosial dan basis
sejarahnya. Maka kalimat-kalimat seperti ini hanya akan bisa dipahami oleh kaum
intelektual bijak, oleh budayawan bijak, bukan oleh budayawan serba salah.
Oh ya, status ini jelas ditujukan ke kaum budayawan serba
salah karena kaum budayawan bijakpun ada. Salah-satu ciri budayawan serba salah
adalah memiliki sinisme sosial yang besar alias tidak mampu fleksibel pada
kekinian. Tapi ironisnya, pada kenyataannya, merekapun tetap hidup dengan gaya
modern. Jadi agak-agak munafik begitulah.
Begitulah pesan saya kepada mereka, sebuah pesan yang
mungkin cukup keras sebagai sebuah pembelaan kepada industri sepakbola yang
hingga detik ini hanya mampu merubah sepakbola menjadi tambang uang, tetapi
tetap tidak mampu mengikis habis rasa nasionalisme sebagian besar insan-insan
sepakbola yang terlibat di dalamnya. Saya katakan sebagian besar karena
sama-sekali tidak berani jika harus mengatakan bahwa seluruh insan sepakbola
itu bersih.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Industri Sepakbola dan Rasa Nasionalisme Para Insannya, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.